Pengguguran, Tabu atau Kesehatan?
Oleh : Wibisono Notodirdjo
Perbuatan tabu aborsi marak dilakukan remaja di belakang tirai kebisuan. Masalahnya, aborsi sekarang banyak dilakukan karena Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD) oleh perbuatan kenakalan remaja. Untuk melayaninya, jasa aborsi ilegal seolah menjamur di kota-kota besar. Bagaimanapun penyelesaiannya, wanitalah yang akhirnya terpojokkan dalam lingkungan sosial mapun segi medis.
Praktek aborsi bukanlah merupakan hal yang sepele di dalam ruang lingkup medis maupun sosial. Sebelum mendalaminya, perlu diketahui pengertian tentang aborsi. Menurut WHO, aborsi adalah pengguguran janin sebelum umur 22 minggu.
Terdapat dua tipe aborsi. Pertama adalah aborsi spontan, yaitu aborsi yang terjadi karena kegagalan pertumbuhan janin karena kondisi medis. Yang kedua adalah aborsi yang disengaja, Praktek ini biasanya dilakukan karena kehamilan tidak diinginkan (KTD), yang dapat dilakukan dengan layanan ahli medis. Namun, ada pula yang dilakukan tanpa bantuan medis khusus dan dapat membahayakan, bahkan hingga kematian. Nyatanya, merurut Report of Regional Consultations 2003, WHO menyatakan bahwa dari 50 juta pelaku aborsi di dunia, 20 juta dilakukan dengan cara tidak aman.
Bagaimana pun definisinya, di Indonesia aborsi masih merupakan hal yang sangat tabu, baik secara hukum maupun sosial. Selain untuk alasan medis yang ditangani oleh ahli medis berpengalaman, hukum terhadap aborsi secara mutlak adalah ilegal, Hal ini jelas tertera dalam UU No.23 Tahun 1992 Pasal 15 tentang kesehatan, yang bila dilanggar terkena ancaman hingga 15 tahun penjara.
Kendati, vonis sosial terhadap aborsi lebih memberatkan dalam lingkungan sosial. Pandangan agama pun jelas menyangkal perbuatan aborsi dalam bentuk apapun karena dianggap pembunuhan. “Jelas dikatakan dalam QS Al-Maidah ayat 151, yang artinya janganlah kau membunuh diri dan anakmu karena takut melarat,” ujar Rini dari Lembaga Dakwah Islam Indonesia.
Ironisnya, dalam budaya yang istilahnya ‘kurang mengenal’ tentang aborsi, praktek aborsi di kota-kota besar sangat banyak. Seperti di Bandung, masalah KTD juga banyak sekali terjadi dalam hubungan pra nikah. Berarti, pada sisi lain seks bebas yang sendirinya merupakan tabu juga telah banyak terjadi, terutama di kalangan remaja. Menurut data dari Mitra Citra Remaja (MCR), pada tahun 2008-2009, terdapat lebih dari 60 remaja yang mengaku telah melakukan hubungan seks pra nikah di Bandung. Data ini hanya cakupan kecil dari banyak remaja lain yang belum mengakuinya.
KTD yang terjadi di kalangan remaja di Bandung tanpa bantuan yang benar sering berakhir sesat. “Terkadang seseorang yang hamil tidak diinginkan, ia suka menerima informasi-informasi yang entah dari mana menyebutkan bahwa ada dokter-dokter yang bisa membantu, itulah salahnya,” ujar Abdurrahman Saleh, ketua Mitra Citra Remaja (MCR) yang biasa disapa Igun. Selain itu, data dari WHO tersebut juga menunjukkan bahwa 25-30 persen kematian ibu hamil adalah sebab kompliksai dari aborsi taka man.
Solusi Maut Terselubung
Layanan aborsi ilegal seolah menjamur di bayangan hiruk pikuk kota sebagai solusi dari kekeruhan dunia bebas remaja. Menurut pemerhati KB, Saut Munthe, kasus aborsi kalangan remaja di Jawa Barat mencapai 160-200 ribu kasus per tahun[1]. Angka ini pun tidak pasti dan kemungkinan masih banyak lagi yang lain.
Penawaran aborsi bak jualan kacang goreng. Melalui iklan-iklan mereka menawarkan berbagai jasa dengan harga yang variatif. Di internet misalnya, marak sekali iklan jasa aborsi yang menawarkan pelayanan dengan kiriman obat dan panduan melalui telepon. Seperti menjual makanan, mereka menawarkan variasi paket yang tergantung oleh umur kandungan.
Ketika salah satu dari jasa tersebut dihubungi via telefon, penerima menjawab segala pertanyaan tentang aborsi dengan seksama. Tentunya, Yusuf (alias) menawarkan sebuah paket obat seharga Rp 650.000, yang dinyatakannya efektif hingga umur kandungan enam bulan. Ia pun mengakui bahwa setiap harinya ada sekitar lima pelanggan yang membeli paket darinya.
Selain itu, terdapat pula klinik-klinik terselubung yang dapat menerima KTD pada umur yang lebih tua, Cara yang digunakan sama sekali tidak menjamin keselamatan ibunya, karena melakukan pemaksaan kontraksi dengan cara seperti pijat dan obat.
Banyaknya remaja yang melakukan atau berniat melakukan aborsi adalah ketakutan mereka dalam menghadapi lingkungan sosial yang akan memvonis mereka terhadap perlakuannya. Sementara, fasilitas aborsi resmi bukanlah pilihan karena tanpa alasan medis mereka tidak akan diperbolehkan karena hukum-hukum yang berlaku. Dengan ini, banyak dari mereka akhirnya menempatkan kepercayaan mereka kepada ‘dukun beranak’ atau jasa-jasa aborsi ilegal.
Keselamatan bukanlah lagi prioritas utama dalam kondisi emosional yang tidak stabil dalam KTD. Padahal, bahaya aborsi tidak aman sangat signifikan bagi kesehatan wanita. Antara lain, aborsi dapat mengakibatkan pendarahan hebat, lemah kandungan bahkan dapat memicu kanker rahim[2]. Pada sisi lain, aborsi juga dapat memicu gangguan psikologis seperti trauma.
Ironisnya, maraknya aborsi ini seolah bayangan kotor kehidupan kota yang tidak dapat disentuh. Pasalnya, hampir semua orang yang bergelut pada bagian ini tutup mulut dan berpura-pura tidak tahu. Kehadiran bisu tempat aborsi ini merupakan perlawanan terhadap hukum ilegal aborsi oleh pemerintah setempat.
Perempuan Sebagai Pembeban Tunggal
Masalah aborsi tak bisa dipungkiri merupakan masalah bagi perempuan. Perempuan lah yang menghadapi masalah ini, dari KTD hingga dilakukan aborsi. Sisi perempuan dapat dijadikan sisi lain dari persepsi hukum dan masyarakat terhadap aborsi, yang memojokkan perempuan sebagai pelaku tunggal yang diberi label ‘pembunuh’.
Padahal, lelaki tentu merupakan peran penting dalam terjadinya KTD ini. Namun, banyak kasus dimana ketika KTD terjadi, dalam hubungan tersebut lelaki melepas tanggung jawab. Perempuan pun dalam banyak kasus bersifat lepas tangan, tetapi mustahil dilakukan karena rahimnya tengah mengandung sebuah nyawa yang merupakan buah hatinya sendiri. Beban mental yang dibawa bukan hanya dari tubuhnya, namun lingkungan sosial yang menunjukkan jari mereka kepada perempuan yang tidak mempunyai tanggung jawab ini.
Melihat sisi ini, terdapat dua pandangan terhadap aborsi, yaitu pro life (pro kehidupan) dan pro choice (Pro pilihan). Pandangan pro kehidupan adalah penyangkal aborsi, dimana janin dilihatnya sebagai nyawa yang tidak boleh disakiti siapa pun termasuk ibunya sendiri. Sisi inilah yang tertanam pada budaya masyarakat Indonesia dan hukum yang berlaku.
Sedangkan, pro pilihan membela perempuan yang melakukan aborsi dengan pandangan bahwa seorang perempuan berhak untuk memutuskan pilihan terhadap badannya sendiri. Pandangan ini menyusung tinggi hak individu sebagai penanggung jawab atas dirinya sendiri. Mereka percaya bahwa janin dalam kandungan belum memiliki nyawa atau akal sehat untuk dapat disebut sebagai manusia, sehingga pengguguran janin bukanlah suatu ‘pembunuhan’. Namun, sejauh manakah batas antara hak dan kewajibannya?
Mengenai ini, Igun mengatakan “Memang diperlukan kesadaran dari setiap orang juga misalnya seseorang tidak mau hamil ia harus preventif. Tetapi jika akibat perbuatannya itu ia hamil, ia harus bertanggung jawab atas perbuatannya itu.”
Ia meneruskan bahwa pendidikan seksual di saat remaja merupakan hal yang terpenting. Masalahnya, remaja terkadang mendapat informasi tentang seks dan mempunyai interpretasi sendiri tanpa sadar bahwa dirinya sendiri mempunyai organ-organ reproduksi yang berfungsi.
Dari mana pun masalah ini dilihat, tentu perihal aborsi akan terus dijadikan sebagai cap negatif dalam kehidupan remaja, Sekarang, bisakah KTD dicegah sehingga tidak perlu dilakukan aborsi?
Sumber rujukan:
[1] http://www.forumkami.com/forum/berita/6328-setahun-200-ribu-remaja-di-jabar-lakukan-aborsi.html
[2] http://abortus.blogspot.com/2010/01/aborsi-sebagai-suara-hati-perempuan.html#more
Oleh : Wibisono Notodirdjo
Perbuatan tabu aborsi marak dilakukan remaja di belakang tirai kebisuan. Masalahnya, aborsi sekarang banyak dilakukan karena Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD) oleh perbuatan kenakalan remaja. Untuk melayaninya, jasa aborsi ilegal seolah menjamur di kota-kota besar. Bagaimanapun penyelesaiannya, wanitalah yang akhirnya terpojokkan dalam lingkungan sosial mapun segi medis.
Praktek aborsi bukanlah merupakan hal yang sepele di dalam ruang lingkup medis maupun sosial. Sebelum mendalaminya, perlu diketahui pengertian tentang aborsi. Menurut WHO, aborsi adalah pengguguran janin sebelum umur 22 minggu.
Terdapat dua tipe aborsi. Pertama adalah aborsi spontan, yaitu aborsi yang terjadi karena kegagalan pertumbuhan janin karena kondisi medis. Yang kedua adalah aborsi yang disengaja, Praktek ini biasanya dilakukan karena kehamilan tidak diinginkan (KTD), yang dapat dilakukan dengan layanan ahli medis. Namun, ada pula yang dilakukan tanpa bantuan medis khusus dan dapat membahayakan, bahkan hingga kematian. Nyatanya, merurut Report of Regional Consultations 2003, WHO menyatakan bahwa dari 50 juta pelaku aborsi di dunia, 20 juta dilakukan dengan cara tidak aman.
Bagaimana pun definisinya, di Indonesia aborsi masih merupakan hal yang sangat tabu, baik secara hukum maupun sosial. Selain untuk alasan medis yang ditangani oleh ahli medis berpengalaman, hukum terhadap aborsi secara mutlak adalah ilegal, Hal ini jelas tertera dalam UU No.23 Tahun 1992 Pasal 15 tentang kesehatan, yang bila dilanggar terkena ancaman hingga 15 tahun penjara.
Kendati, vonis sosial terhadap aborsi lebih memberatkan dalam lingkungan sosial. Pandangan agama pun jelas menyangkal perbuatan aborsi dalam bentuk apapun karena dianggap pembunuhan. “Jelas dikatakan dalam QS Al-Maidah ayat 151, yang artinya janganlah kau membunuh diri dan anakmu karena takut melarat,” ujar Rini dari Lembaga Dakwah Islam Indonesia.
Ironisnya, dalam budaya yang istilahnya ‘kurang mengenal’ tentang aborsi, praktek aborsi di kota-kota besar sangat banyak. Seperti di Bandung, masalah KTD juga banyak sekali terjadi dalam hubungan pra nikah. Berarti, pada sisi lain seks bebas yang sendirinya merupakan tabu juga telah banyak terjadi, terutama di kalangan remaja. Menurut data dari Mitra Citra Remaja (MCR), pada tahun 2008-2009, terdapat lebih dari 60 remaja yang mengaku telah melakukan hubungan seks pra nikah di Bandung. Data ini hanya cakupan kecil dari banyak remaja lain yang belum mengakuinya.
KTD yang terjadi di kalangan remaja di Bandung tanpa bantuan yang benar sering berakhir sesat. “Terkadang seseorang yang hamil tidak diinginkan, ia suka menerima informasi-informasi yang entah dari mana menyebutkan bahwa ada dokter-dokter yang bisa membantu, itulah salahnya,” ujar Abdurrahman Saleh, ketua Mitra Citra Remaja (MCR) yang biasa disapa Igun. Selain itu, data dari WHO tersebut juga menunjukkan bahwa 25-30 persen kematian ibu hamil adalah sebab kompliksai dari aborsi taka man.
Solusi Maut Terselubung
Layanan aborsi ilegal seolah menjamur di bayangan hiruk pikuk kota sebagai solusi dari kekeruhan dunia bebas remaja. Menurut pemerhati KB, Saut Munthe, kasus aborsi kalangan remaja di Jawa Barat mencapai 160-200 ribu kasus per tahun[1]. Angka ini pun tidak pasti dan kemungkinan masih banyak lagi yang lain.
Penawaran aborsi bak jualan kacang goreng. Melalui iklan-iklan mereka menawarkan berbagai jasa dengan harga yang variatif. Di internet misalnya, marak sekali iklan jasa aborsi yang menawarkan pelayanan dengan kiriman obat dan panduan melalui telepon. Seperti menjual makanan, mereka menawarkan variasi paket yang tergantung oleh umur kandungan.
Ketika salah satu dari jasa tersebut dihubungi via telefon, penerima menjawab segala pertanyaan tentang aborsi dengan seksama. Tentunya, Yusuf (alias) menawarkan sebuah paket obat seharga Rp 650.000, yang dinyatakannya efektif hingga umur kandungan enam bulan. Ia pun mengakui bahwa setiap harinya ada sekitar lima pelanggan yang membeli paket darinya.
Selain itu, terdapat pula klinik-klinik terselubung yang dapat menerima KTD pada umur yang lebih tua, Cara yang digunakan sama sekali tidak menjamin keselamatan ibunya, karena melakukan pemaksaan kontraksi dengan cara seperti pijat dan obat.
Banyaknya remaja yang melakukan atau berniat melakukan aborsi adalah ketakutan mereka dalam menghadapi lingkungan sosial yang akan memvonis mereka terhadap perlakuannya. Sementara, fasilitas aborsi resmi bukanlah pilihan karena tanpa alasan medis mereka tidak akan diperbolehkan karena hukum-hukum yang berlaku. Dengan ini, banyak dari mereka akhirnya menempatkan kepercayaan mereka kepada ‘dukun beranak’ atau jasa-jasa aborsi ilegal.
Keselamatan bukanlah lagi prioritas utama dalam kondisi emosional yang tidak stabil dalam KTD. Padahal, bahaya aborsi tidak aman sangat signifikan bagi kesehatan wanita. Antara lain, aborsi dapat mengakibatkan pendarahan hebat, lemah kandungan bahkan dapat memicu kanker rahim[2]. Pada sisi lain, aborsi juga dapat memicu gangguan psikologis seperti trauma.
Ironisnya, maraknya aborsi ini seolah bayangan kotor kehidupan kota yang tidak dapat disentuh. Pasalnya, hampir semua orang yang bergelut pada bagian ini tutup mulut dan berpura-pura tidak tahu. Kehadiran bisu tempat aborsi ini merupakan perlawanan terhadap hukum ilegal aborsi oleh pemerintah setempat.
Perempuan Sebagai Pembeban Tunggal
Masalah aborsi tak bisa dipungkiri merupakan masalah bagi perempuan. Perempuan lah yang menghadapi masalah ini, dari KTD hingga dilakukan aborsi. Sisi perempuan dapat dijadikan sisi lain dari persepsi hukum dan masyarakat terhadap aborsi, yang memojokkan perempuan sebagai pelaku tunggal yang diberi label ‘pembunuh’.
Padahal, lelaki tentu merupakan peran penting dalam terjadinya KTD ini. Namun, banyak kasus dimana ketika KTD terjadi, dalam hubungan tersebut lelaki melepas tanggung jawab. Perempuan pun dalam banyak kasus bersifat lepas tangan, tetapi mustahil dilakukan karena rahimnya tengah mengandung sebuah nyawa yang merupakan buah hatinya sendiri. Beban mental yang dibawa bukan hanya dari tubuhnya, namun lingkungan sosial yang menunjukkan jari mereka kepada perempuan yang tidak mempunyai tanggung jawab ini.
Melihat sisi ini, terdapat dua pandangan terhadap aborsi, yaitu pro life (pro kehidupan) dan pro choice (Pro pilihan). Pandangan pro kehidupan adalah penyangkal aborsi, dimana janin dilihatnya sebagai nyawa yang tidak boleh disakiti siapa pun termasuk ibunya sendiri. Sisi inilah yang tertanam pada budaya masyarakat Indonesia dan hukum yang berlaku.
Sedangkan, pro pilihan membela perempuan yang melakukan aborsi dengan pandangan bahwa seorang perempuan berhak untuk memutuskan pilihan terhadap badannya sendiri. Pandangan ini menyusung tinggi hak individu sebagai penanggung jawab atas dirinya sendiri. Mereka percaya bahwa janin dalam kandungan belum memiliki nyawa atau akal sehat untuk dapat disebut sebagai manusia, sehingga pengguguran janin bukanlah suatu ‘pembunuhan’. Namun, sejauh manakah batas antara hak dan kewajibannya?
Mengenai ini, Igun mengatakan “Memang diperlukan kesadaran dari setiap orang juga misalnya seseorang tidak mau hamil ia harus preventif. Tetapi jika akibat perbuatannya itu ia hamil, ia harus bertanggung jawab atas perbuatannya itu.”
Ia meneruskan bahwa pendidikan seksual di saat remaja merupakan hal yang terpenting. Masalahnya, remaja terkadang mendapat informasi tentang seks dan mempunyai interpretasi sendiri tanpa sadar bahwa dirinya sendiri mempunyai organ-organ reproduksi yang berfungsi.
Dari mana pun masalah ini dilihat, tentu perihal aborsi akan terus dijadikan sebagai cap negatif dalam kehidupan remaja, Sekarang, bisakah KTD dicegah sehingga tidak perlu dilakukan aborsi?
Sumber rujukan:
[1] http://www.forumkami.com/forum/berita/6328-setahun-200-ribu-remaja-di-jabar-lakukan-aborsi.html
[2] http://abortus.blogspot.com/2010/01/aborsi-sebagai-suara-hati-perempuan.html#more