cerita rakyat selayar
Dari beberapa catatan sejarah yang ditulis orientalis, orang Selayar sejak dahulu kala sudah mengarungi perairan nusantara dan dunia. Bahkan ada catatan yang mencatat tentang orang Selayar yang sudah sampai ke Kepulauan Comoros di Afrika. Hanya saja, catatan tentang tahunnya, masih perlu diperdebatkan.
Catatan tertulis tentang orang Selayar yang bisa ditelusuri – paling tidak sampai saat ini, adalah bagaimana orang Selayar mondar – mandir antara Selayar dan Ceylan (Srilanka), Pattani (Thailand), Palawan, Sulu, Zamboanga (Philipina), dan Semenanjung Malaya (Malaysia dan Singapura).
Bahkan dalam “Sejarah Melayu” W.G. Shellabear, 1975, dituturkan, bagaimana orang Selayar melakukan perdagangan di semenanjung Malaya, terutama untuk hasil laut dan pertanian.
Dalam “Waris-Waris Daing Malibok bin Daing Mattebak” (Pertubuhan Kebajikan Keluarga Daing Malibok bin Mattebak, Negeri Johor, 2008), bahkan dijelaskan bagaimana orang Selayar, dan orang-orang dari Sulawesi Selatan “membuat” kampung di Semenanjung Malaya itu.
“Selain orang Wajo’, ada juga sedikit pendatang dari Bone, antara lain kelompok yang dipimpin oleh Daeng Pasidda’. Mereka membuka Kampung Parit Bugis yang terletak di Senggarang. Dari situ kemudian orang Bone pergi menetap ke Parit Balak. Kecuali kelompok kecil orang Bone, terdapat juga orang Bugis yang berasal dari daerah lain. Misalnya Wak Khatib Mahmud yang membuka Parit Wak Khatib dekat Ayer Baloi berasal dari Sidenreng. Sementara orang Batu – Batu, Soppeng, membuka kampung di Simpang Kiri Sungai Karang; orang Makassar di Parit Ramunia dan orang Selayar di Parit Selangor, kedua-duanya terletak di Mukim Sungai Pinggan”.
Di nusantara sendiri, orang Selayar sudah merambah hampir seluruh daerah. Tapi yang paling mengesankan, adalah, komunitas orang Selayar yang “menguasai” satu pulau, yaitu Pulau Bungin di Sumbawa, Nusa Tenggara Barat.
Pulau Bungin yang masuk dalam wilayah Kecamatan Alas, Kabupaten Sumbawa, memiliki luas kurang lebih 6 ha, dengan penduduk yang termasuk padat, mencapai 4000 jiwa.
Pulau Bungin, atau lengkapnya Bungin Sakatek, konon diambil dari bahasa Selayar, yang berarti “gundukan pasir putih di tengah laut”. Masyarakatnya, di samping berasal dari Bugis Selayar, juga berasal dari wilayah Tanete (Bontomatene).
Diperkirakan, sebelum letusan pertama Gunung Tambora pada tahun 1815, gundukan pasir putih di tengah laut sebelah utara Pulau Sumbawa itu sudah didiami oleh komunitas masyarakat Selayar. Menurut cerita rakyat Bungin – berdasarkan cerita dari kakek – nenek mereka, sebelum letusan pertama Gunung Tambora itu, Lamayu beserta keluarganya sudah mendiami pulau itu, dan selanjutnya menjadi perkampungan nelayan asal Selayar.
Cerita rakyat berawal dari kisah Panglima Lamayu – yang dipercaya sebagai penghuni pertama Pulau Bungin, yang berlayar mencari keluarganya ke Sumbawa. Dari kejauhan, dilihatnya gundukan pasir di tengah laut. Ia kemudian merapatkan perahunya, hingga kemudian menetap sampai akhir hayatnya. Keluarganya memutuskan untuk tinggal, membangun rumah permanen, dan kemudian diikuti oleh nelayan asal Selayar yang menyusul belakangan.
Pelayaran Lamayu dan keluarganya ke Sumbawa dan akhirnya menetap Palau Bungin, selain membawa peralatan rumah tangga, juga membawa dua buah bendera; salah satunya bergambar naga dan satunya lagi adalah bendera ajimat yang diyakini memiliki kekuatan magis untuk menjaga keselamatan warga masyarakat Bungin. Bahkan benda pusaka peninggalan Lamayu berupa keris “Bonto Mate'ne” masih tersimpan di rumah salah seorang keturunannya di Bungin.
Melihat ketokohan dan semangat Lamayu dalam membangun komunitasnya, sebagai rasa hormat dan kekeluargaan, Sultan Sumbawa saat itu, memberikan bendera bergambar Macan kepadanya, dan disimpan oleh keturunan ke lima Panglima Lamayu, Makkadiah (90 tahun).
Sampai sekarang, keturunan masyarakat Selayar di Pulau Bungin masih memiliki ritual adat yang masih kerap dilakukan, misalnya Tubaraki, penobatan tetuah kampung, termasuk upacara keselamatan desa dengan sebutan Ngoroh.
+ komentar + 1 komentar
terimakasih dik... saya legasi selayar bontobangung yang kini menjadi rakyat malaysia..almarhum kakek saya mungkin sekitar tahun 1890 - 1930 meneroka sungai karang juga parit ramunia.... kini almarhum kakek yang memang dulu dari bontobangung legasi daeng massairang tidak tahu berapa beradik2 mereka merantau sudah jadi berpecah dua...seorang dimakamkan di sungai syam berdekatan sungai karang dan seorang lagi dimakamkan du jambi...2 orang pelayar bugis ini merupakan anak abu bakar patta tinggi legasi daeng massairang.... sehingga hari ini kami terus memperkasakan cita-cita mereka... cita-cita mereka yang tidak pernah mati mahukan anak-anak bugis menjadi manusia berguna dimana juga mereka berada.... terimakasih dik kerana melimpahkan sesuatu yang amat berguna untuk dibaca oleh kami anak bugis yang jauh dari leluhur bersemadi diperantauan....salam kasih sayang kami buat anak-anak selayar...mudah-mudahan allah memberi kesempatan untuk kita semua dapat bersama-sama kembali.... amin